KENANGAN
Sedikit mengenang atas kepergian yang
dicinta
Based on true story
Jakarta, 25
Desember 2009
16.00 WIB
Aku berada
di perpustakaan, duduk memandangi keadaan sekitar. Mencoba untuk mengenang
kembali masa yang indah itu. Masa yang penuh dengan canda tawa ataupun
tangisan. Di luar, hujan turun dengan derasnya, anganku melayang mengikuti
irama hujan.
Jakarta, 25
Desember 1996
“Ciluk…baaa! Hehehe ciluuk…baaaaa!“ Aku
menggoda bayi kecil yang baru saja lahir. Dia adalah adikku. Adik kecil
berjenis kelamin laki-laki yang telah lahir melalui persalinan secara caesar.
“Ih mama,
adik bayinya ketawa! Hihihi lucu banget ya!” Aku senang sekali karena adik
laki-lakiku ini sudah bisa diajak bercanda. Waktu itu usiaku belum genap tiga
tahun.
“Iya dong,
kan dede bayi sama kayak Neng, sukanya bercanda terus.” Ayah menjawab demikian.
Oh iya, aku memang dipanggil dengan sebutan Neng oleh orang tuaku. Namaku Desti,
tapi karena orang tua ku berasal dari Jawa Barat, maka mereka memanggilku
dengan sebutan Neng yang berarti anak perempuan.
“Ayah, mama,
dede bayinya dikasih nama apa?” tanya sembari terus memperhatikan sesosok bayi
mungil berkulit agak hitam.
“Hmmm
namanya Muhammad Taufik Hilmi. Bagus kan?” Mama memberi tahu nama adik kecilku.
“Iya Ma!
Bagus banget! Terus nanti Neng manggilnya siapa?” tanyaku penasaran.
“Panggil
saja dede Hilmi..” jawab mama.
“Imi… Dede
Imi? Imi??” Aku masih bingung.
“Kok Imi
sih? Yang benar itu Hilmi.” Ayah mencoba menjelaskan.
“Imi..Imi..Imi…
Aahhh Neng enggak bisa manggilnya! Masa Imi sih? Kayak cewek dong! Dede aku kan
ganteng!” Waktu itu aku memang tidak bisa menyebut Hilmi. Otomatis kata Imi lah
yang keluar. Tiba-tiba keluarlah ide ku yang cemerlang untuk anak seusiaku.
“Kenapa
enggak Imo aja, yah? Jadi enggak kayak cewek. Jadi kalau Imo kan panggilan
cowok hihihihi!” Ayah berpikir sebentar, sedangkan mama sibuk menggendong dede
bayi. Satu menit kemudian..
“Imo? Nama
yang unik. Boleh juga tuh!” Mama menyetujui dan ayahpun mengangguk sembari
tersenyum ke arah mama.
“Asyiik!
Horeeee..horeee..! Jadi, dede bayi ini namanya dede Imo! Heheheheh.” Aku
berteriak kegirangan. Kami semua menghabiskan waktu dengan penuh kehangatan.
Aku rindu sekali saat-saat seperti ini.
JJJ
Tiga tahun
kemudian, di teras rumah pukul 04.30 WIB
“Ngeng…ngeeng..ngeeeeng..breem..breee..breem..ngeeeeeng…..”
Seperti biasa, adikku ini selalu bangun lebih awal dari pada orang rumah lainnya
termasuk aku. Ia sibuk menjejerkan mobil-mobilannya seperti kereta api. Aku
terbangun mendengar suara Imo. Seketika aku beranjak ke teras untuk melihat Imo
yang sedang asyik bermain sendiri.
“Eh! Neng
udah bangun!” Benar kata orang-orang, seorang anak akan mengikuti perkataan
orang tuanya dan orang-orang dekitar. Walhasil Imopun memanggilku dengan
sebutan “Neng”.
“Hmmmm!!” Gumamku
karena masih sedikit mengantuk.
“Geseran
dong, Dek!!” Perintahku bak seorang komandan menyuruh pasukkannya untuk
bergerak Segera Imo menggeser posisinya. Aku senang sekali kalau dia selalu
patuh kepada ku. Enakknya jadi seorang kakak hehehe.
Hari demi
hari telah ku lewatkan dengan bermain bersama Imo, tidak lupa juga sekolah dan
les tari. Kebetulan waktu itu aku ikut sanggar tari di daerah Blok A. Setiap
aku ada jadwal les tari, kadang-kadang Imo ikut mengantar ku bersama mama dan
melihat ku berlatih menari tradisional.
***
“1….2….3…. ayoo
ayooo ayoo!!” sorak sorai penonton saat pertandingan memasukkan pensil ke dalam
botol dimulai karena waktu itu hari kemerdekaan Republik Indonesia. Di mana
seluruh rakyat Indonesia merayakannya dengan gembira dan mengadakan berbagai
perlombaan. Lalu adik lucu ku itu menggoyangkan tubuhnya yang gendut agar
pensil nya masuk dan…
“Horeeeeeee!
Adek menang, Ma!” aku bersorak gembira karena Imo berhasil memenangkan lomba
ini. Dia sangat senang, ia loncat-lonacat sambil tertawa. Sungguh wajah yang
takkan pernah ku lupakan.
Malam
harinya, giliran aku yang akan mengisi acara HUT RI ini. Aku akan menari
bersama dua teman ku yang usianya lebih tua dari aku, Kak Linda dan Kak Resi.
Kami menari di panggung kelurahan. Memang, hampir tiap tahun setiap HUT Rim aku
dan teman-teman ku yang lain ikut mengisi acara malam HUT RI. Mama mendandani
ku dan kedua teman ku. Mama memang pandai dalam hal tata rias. Yang pasti, mama
ku itu manis seperti aku hehe.
“Adek!
Ngapain di situ?” aku bingung ternyata Imo memandangiku yang sedang didandani
oleh mama.
“Hehehehe!”
hanya itu. Dia hanya cengengesan. Dasar aneh. Akhirnya aku dan yang lain sudah
siap untuk menari di atas panggung. Tapi sebelum naik, aku berfoto dengan Imo
lalu naiklah ke atas panggung. Singkat cerita, pertunjukkan pun selesai. Tepuk
tangan dari orang-orang menandakan bahwa pertunjukkan ku dan teman-teman telah
sukses. Alhamdulilah …
Satu minggu
kemudian, hari Minggu tepatnya kami sekeluarga pergi bertamasya ke Kebun
Binatang Ragunan. Di sana aku dan Imo berlari ke sana kemari, melihat gajah,
monyet dan bintang-binatang lainnya. Tiba-tiba Imo berlari.
“Adek! Mau
ke mana?” teriak ayah.
“Ke situ,
Yah!” sambil menunjuk patung jerapah yang sangat tinggi. Lalu ayah dan aku
berlari menghampirinya.
“Adek mau
naik ke atas, Yah! Ayo naik…” pinta Imo.
“Nanti adek
jatuh, jangan ya.” bujuk ayah.
“Enggak mau!
Adek mau naik!!” rengek Imo sambil memasang muka cemeberutnya yang ingin sekali
rasanya aku cubit karena saking gemasnya.
“Ya sudah
sini ayah gendong.” Akhirnya ayah menyerah dan menggendong Imo ke tubuh patung
jerapah itu lalu …
“Ayah… Neng
juga mau naik!” pinta ku juga hehe.
“Aduh! Yang
ini juga mau toh. Ya sudah sini!” lalu ayah menggendong ku ke tempat Imo sambil
tersenyum.
“Wow!!
Tinggi banget!” aku gembira sekali.
“Iya Neng!
Mama sama ayah jadi kecil. Horeeee!!” Imo teriak gembira. Setelah itu mama
mengambil gambar kami berdua dengan kameranya. Kami pun bergaya, aku memeluk
Imo dari belakang. Tak terasa kami berdua kelelahan akhirnya ayah menurunkan
kami. Kai pun akhirnya pulang ke rumah dengan perasaan senang. Oh iya, kalian
harus tau bahwa rumah yang aku tempati saat itu merupakan rumah dinas yang
berada di dalam sekolah menengah kejuruan, di mana mama bekerja di situ sebagai
bendahara. Sedangkan ayah bekerja di kantor Departemen Kesehatan.
***
Singkat
cerita, aku berusia 8 tahun sedangkan Imo 4 tahun. Tapi anehnya Imo belum mau
untuk masuk TK padahal usianya sudah cukup untuk masuk TK.
“Adek, kalo
udah gede cita-citanya mau jadi apa?” aku iseng-iseng sja bertanya.
“Adek mau
jadi supir metro mini!!” katanya dengan tegas dan lantang.
“HAH??!!
Masa supir metro sih, Dek?” aku kaget.
“Biarin aja
week!!” sanggah Imo. Kebetulan hari ini Imo ulang tahun dan mama berniat akan
merayakannya di kantor mama. Tapi hanya dengan menyalakan lilin. Lho?. Walaupun
hanya seperti itu, namun Imo sangat senang. Bahkan ia menyuruh teman mama agar
menyalakan lilin yang sudah mati karena ditiup sendiri olehnya. Begitu
seterusnya. Aku dan teman-teman kantor mama hanya bisa tersenyum melihat tingkah
laku Imo.
Aku masih
teringat ucapan Imo yang mengatakan bahwa ia ingin menjadi supir metro mini.
Tapi, sepertinya ucapannya itu telah berubah karena 6 bulan sebelum peristiwa
itu terjadi, Imo meminta kepada mama kalau ia ingin sekolah TK. Tentu mama
sangat senang dan didaftarkannyalah Imo ke sebuah TK yang masih berada dalam
satu lingkungan dengan rumah ku. Hari pertama masuk, Imo semangat sekali. Imo
tidak seperti kebanyakan murid TK lainnya. Dia tidak nakal, bahkan ketika ada
temannya yang bertengkar, ia melerainya.
“Hei! Kamu
nggak boleh berantem. Kita kan teman. Nanti dimarahi Bu Guru lho!” begitu
katanya. Lalu kedua temannya yang bertengkar tadi langsung menyudahi
pertengkarannya dan berdamai. Hebatkan adikku! Tidak hanya itu, Imo juga sudah
bisa menghafal beberapa surat pendek Al-Qur’an. Tidak heranlah kalau hampir
bahkan setiap orang yang bertemu dengan Imo pasti akan sayang padanya.
***
Seakur-akurnya
kakak beradik, pasti akan bertengkar juga. Waktu itu Imo mengganggu ku saat aku
sedang bermain. Ia mengacak-acak mainan ku, melempar-lempar dan hal itu membuat
ku sangat kesal.
“Adek!!!
Ngapain sih??!! Jangan ganggu Neng!!!!” bentak ku. Namun ia masih saja seperti
itu. Lalu aku mengatakan kepada mama kalimat yang sanat membuat ku menyesal
sampai sekarang. Sambil berteriak dan menangis aku berkata..
“Mama!!
Buang aja adeknya sana ke neraka!!!” kalimat itu… seolah-olah itu sebuah doa
atau sumpah serapah. Mungkin itu sebuah doa…Hari-hari berikutnya aku masih saja
tidak melakukan komunikasi dengan Imo, tapi keadaan kembali seperti semula
dengan sendirinya. Kami bermain-main bersama kembali dan melupakan kejadian
itu, termasuk perkataanku.
Saat bulan
puasa tiba, seperti biasa kami sekeluarga pergi ke Blok M untuk membeli baju
lebaran. Kami bolak-balik sebanyak 5 kali ke Blok M dalam waktu 5 hari karena
selalu saja ada barang yang terlupa untuk dibeli, yaitu sapu tangan ayah dan
kebetulan sebelumnya ayah sangat ingin membeli naju berwarna hitam. Sampai pada
hari ke lima, tiba-tiba Imo mengeluarkan kalimat yang sama sekali aku, ayah,
dan mama tidak pahami.
“Yaaaah…
hari ini hari terakhir adek ke blok M deh” dengan wajah sedih. Lalu mama
meresponnya.
“Ya iyalah,
kan kita mau pulang kampuong. Kami memang berencana lebaran di Cirebon. Tapi
Imo mengelak.
“Enggak!
Pokoknya yang terakhir aja!” katanya. Mama hanya menganggap ini adalah sebuah
omongan biasa anak kecil, maka segera berangkatlah kami ke Blok M. Besoknya,
kami (kecuali ayah karena ayah ada keperluan sehingga menyusul pada malam
takbir) berangkat naik kereta api. Tidak seperti biasanya, Imo terlihat sangat
murung dan sedih. Sesampainya di Cirebon, kami berkumpul dengan sanak saudara.
Namun, Imo jatuh sakit.
Suhu
badannya tinggi. Seisi rumah kebingungan dan panik, karena pada malam itu
tanggal 24 Desember 2000, satu hari sebelum hari natal. Jadi, dokter relatif
tutup, yang ada hanya dokter jaga. Akhirnya mama memutuskan untuk membawanya ke
dokter jaga tersebut. Waktu itu Imo ingin sekali naik becak, padahal saat itu
hujan turun dengan derasnya. Namun mama mengiyakan dan berangkatlah kami (aku,
Imo, mama, dan tanteku).
Sesampainya
di sana, Imo segera diperiksa, setelah selesai mama pun menebus obat yang telah
ditulis ole dokter. Mama heran karena dosis obat tersebut adalah dosis untuk
orang dewasa yang berarti dosis tinggi bagi anak kecil seusia Imo. Tapi, mama
tidak peduli. Hanya satu dipikirannya, yang penting Imo cepat sembuh. Setelah
mendapatkan obat tersebut, kami langsung pulang. Di rumah, mama segera memberi
obat itu kepada Imo.
Besoknya Imo
terlihat lebih sehat dari sebelumnya. Lalu aku, Imo, nenek, dan saudaraku yang
lain bermain dan berfoto-foto. Padahal rencananya kamera itu akan digunakan
pada saat lebaran nanti. Belum lagi semua foto itu hampir berisikan foto Imo.
“Nenek awas!
Ada yang mau ke sini jemput adek” saambil menunjuk keluar. Seketika kami
melihat ke luar, namun tidak ada seorang pun di sana.
“Nggak ada
siap-siapa kok dek” jawabku.
“Ada! Itu
pake baju putih-putih naik becak mau jemput adek!” Imo berusaha meyakini tapi
tetap saja di sana tidak ada siapa-siapa.
“Yaaaaaah…tuh
kan orangnya pergi!” Imo kecewa, lalu melanjutkan permainannya.
Imo sakit
lagi. Imo merasa badannya panas. Ia terus meminta ganti baju. Hal ini
berlangsung berulangkali. Akhirnya Imo bisa tenang juga, ia pun tertidur. Namun
hanya beberapa saat, selanjutnya ia terbangun.
“Mama, adek
bangun!” aku memanggil mama dengan santai. Lalu mama datang, tapi ternyata Imo
langsung kejang-kejang. Seisi rumah panik. Lalu tante segera mengambil sendok
untuk menahan bibir Imo agar tidak tergigit. Sekujur tubuhnya membiru. Segera
mama dan Oom membawa Imo ke rumah sakit. Aku di rumah bersama nenek dan
saudaraku menunggu dengan cemas. Aku sangat ingin ikut tapi mama melarangku.
Maghrib pun
tiba, aku sholat bersama nenek dan saudaraku. Aku berdo’a supaya tidak terjadi
apa-apa dengan Imo. Selesai sholat, aku membantu nenek merapikan ruang tamu.
Aku tidak tahu ini untuk apa, tapi aku lakukan saja. Selesai merapikan, kami
duduk bersama di ruang tamu. Oom ku datang. Tiba-tiba ia muntah. Nenek segera
menghampirinya. Lalu mereka menangis. Aku masih belum tahu apa yang terjadi.
***
Cirebon 25
Desember 2000
Pikiranku
hanya tertuju pada Imo dan kemudian aku sadar bahwa aku telah kehilangan
satu-satunya adik kesayanganku. Aku sangat terpukul. Aku hanya bisa menangis.
Ternyata perilaku-perilaku aneh Imo dan hal-hal aneh itu merupakan tanda-tanda
kepergiannya. Tepat pukul 8 malam Imo meninggal.
***
Jam 10 malam
jenazah Imo tiba di rumah nenek. Aku menangis sekencang-kencangnya di pelukan
nenekku. Aku teringat bahwa ayah akan datang malam ini dengan membawa pesawat
mainan yang telah dipesan oleh Imo dua hari sebelum ia meninggal. Aku tidak
bisa membayangkan bagaimana perasaan ayah nanti saat melihat jenazah anaknya.
Sedangkan mama, ia pingsan di kamar. Sampai pada saat ayah tiba, manakala
keadaan rumah nenek sangat ramai oleh berpakaian hitam. Lalu ayah melihat ada
jenazah yang telah sudah dikafani. Ayah kaget, bingung dan bertanya-tanya pada
orang-orang.
“Siapa yang
meninggal? Siapa yang meninggal?!” tanyanya. Orang-orang hanya diam. Akhirnya
Oom ku buka mulut.
“Imo udah
nggak ada.” Dengan nada datar. Ayah seketika terdiam tidak percaya karena
jenazah itu sepanjang jenazah orang dewasa. Padahal tinggi Imo hanya 1,15
meter. Mungkin ini rahasia Allah mengapa jenazah Imo menjadi seperti jenazah
orang dewasa. Lalu ayah meletakkan begitu saja barang bawaanya. Sambil membawa
pesawat mainan, ia berlari menghampiri jenazah Imo dan membuka kain penutup
yang menghalangi wajah Imo. Ternyata memang Imo. Ayah tergelatak lemas,
menangis, memeluk, dan memandang wajah pucat anaknya yang tersirat senyuman
yang sangat indah. Senyuman yang begitu indah, damai dan bahagia.
“Adek, ini
ayah. Ayah bawa pesanan adek, pesawat-pesawatan. Nanti kita main bareng ya…”
ucap ayah dengan tangisnya. Segera ayah dibawa oleh om ku ke kamar untuk menemui
aku dan mama. Kami semua menangis, ayah memeluk aku dan mama.
***
Indramayu,
26 Desember 2000
Mobil
ambulans membawa jenazah Imo untuk dimakamkan. Alam begitu bersahabat, langit
cerah, jalanan pun lengang tidak seperti biasanya yang membutuhkan waktu 3 jam
untuk mencapai Indramayu dari Cirebon.
Pemakaman
pun selesai. Aku, mama, dan ayah langsung pulang ke Jakarta. Sesampainya di
Jakarta, banyak orang yang terkejut atas meninggalnya Imo. Imo meninggalkan
kami semua diusianya yang belum genap 5 tahun, yaitu 4 tahun 8 bulan.
JJJ
Jakarta 25
Desember 2009
Pukul 20.00
Kini
Masih di
dalam perpustakaan. Dulu tempat inilah yang menjadi rumah kami, namun sekarang
telah disulap menjadi perpustakaan sekolah tempat di mana mama bekerja.
Mungkin
benar bahwa orang yang banyak disayangi oleh orang lain, akan cepat dipanggil
oleh Allah karena Dia lebih sayang dari pada kita. Kepergian imo meninggalkan
luka yang mendalam. Namun dari situ justru aku dapat belajar bahwa setiap
manusia yang dilahirkan akan kembali ke asalnya. Kepergian Imo juga
meninggalkan tanggung jawab. Tanggung jawabku yang kini sebagai anak
satu-satunya milik ayah dan mama. Aku tidak ingin mengecewakan mereka, apalagi
Imo. Aku akan membuat mereka bangga terhadapku dengan atau tanpa Imo.
Terimakasih adek, adek udah banyak memberi pelajaran untuk neng. Kalian ingat
sumpah serapahku? Ternyata benar-benar terwujud. Tapi bukan dibuang ke neraka
melainkan diangkat ke surga, tempat yang sangat indah tentunya.
Hari ini
tepat 9 tahun kepergian Imo. Semoga kamu tenang di sana, neng cuma bisa bilang
kalau neng sangat sayang sama adek. Selamat jalan Muhammad Taufik Hilmi. With
love for you my little brother, big kisses and hugs.
REST IN
PEACE
MUHAMMAD
TAUFIK HILMI
JAKARTA
25 APRIL 1996
CIREBON
25 DESEMBER 2000
CIREBON
25 DESEMBER 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar