BIDADARI 7:10
Ketidakberanian
Mengalahkan Cinta
Based on True Story
Musim panas telah lama meninggalkan Tangerang.
Burung-burung lebih memilih bersembunyi menghangatkan badan di balik bulu-bulu
halusnya menyambut musim hujan. Pagi ini langit tidak begitu cerah, gumpalan
awan hitam terlihat menutupi indahnya mega. Seperti biasa Dirga duduk di
samping bapaknya di dalam mobil. Matanya tertuju pada satu hal yang membuktikan
kebesaran Tuhan, pelangi. Jarang sekali ada pelangi yang muncul di pagi hari,
pikirnya. Di kala ia kecil, ibu nya pernah bercerita tentang pelangi. Dulu ibu
mengatakan bahwa pelangi itu merupakan jembatan para bidadari dari khayangan
untuk turun ke bumi. Dirga kecil sangat antusias menyimaknya, sampai-sampai ia
selalu berteriak ketika ada pelangi, “Bidadari
cantik! Lihat Dirga di sini!” tak lupa ia melambai-lambaikan tangannya ke
arah pelangi. Dirga tersenyum bila mengingat tingkahnya saat itu.
“Dirga, ini sudah sampai.” Suara berat bapak mengembalikannya
ke hiruk pikuk suasana stasiun Tangerang.
“Iya pak. Dirga berangkat dulu ya.” Pamitnya seraya
berlari ke loket karcis dan menaiki anak tangga mengejar kereta yang kini
hampir setengah pintunya tertutup. Dengan sigap ia berhasil masuk ke dalam
gerbong kereta yang sudah dipenuhi para pencari nafkah, sama sepertinya.
Sekilas ia memperhatikan arloji yang menunjukkan pukul 7:15. Laki-laki berusia
25 tahun ini menggeleng-gelengkan kepalanya, ia mengutuk dirinya sendiri yang
lebih memilih bekerja di kantor orang lain di banding kantor orang tuanya
sendiri. Jarak Tangerang – Jakarta Pusat yang jauh mengharuskan dirinya
berangkat sepagi mungkin menuju stasiun dan “berperang” dengan penumpang lain
agar bisa menaiki kereta yang paling pertama.
“Bu, aku pegel.” Rengek seorang anak kecil di
sebelahnya. Anak itu terlihat sangat kelelahan berdiri di dalam gerbong yang
sudah berjalan sekitar sepuluh menit yang lalu.
“Sabar ya, nak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari
mulut ibunya tapi yang terjadi malah anak itu menangis. Menambah kacau keadaan
saja di dalam gerbong yang sumpek, penuh dan panas ini. Untung saja masih pagi,
jadi parfum-parfum para penumpang masih menempel di baju mereka masing-masing,
batin Dirga. Dirga melihat ke arah anak laki-laki berseragam putih abu yang
duduk tepat di depan si ibu dan anak tadi. Ia sedang asik bermain dengan
telepon genggamnya.
“Hebat sekali
anak itu. Benar-benar gak punya perasaan. Otaknya bebal. Seharusnya dia sigap
berdiri mempersilahkan duduk ibu dan anak ini, bukannya asik tertawa-tawa
melihat layar kaca handphonenya!” umpat Dirga kesal
dalam hati. Tiba-tiba seseorang yang duduk tepat di depan badan Dirga berdiri,
tersenyum ke arah si ibu.
“Ibu, duduk sini aja. Adiknya dipangku biar gak
pegel.” Ucapnya penuh kelembutan.
“Terimaksih Non. Terimakasih banyak.” Jawab si ibu
dan segera duduk memangku anaknya tadi. Aku takjub memandang wanita baik hati
itu yang kini sudah berdiri tepat di sampingku, memegang tiang pegangan kereta.
Ia mengibaskan rambut ikalnya, tercium harum shampo yang sangat khas. Di balut
dengan dengan seragam birunya yang terlihat kontras dengan warna kulitnya yang
putih bersih, memperindah setiap lekuk tubuhnya yang tinggi. Semilir angin
berhembus dari jendela mengirimkan sebuah wangian khas parfum Jesica Parker
yang ia kenakan. Membuat Dirga semakin tersihir dibuatnya. Sepertinya wanita
itu sadar bahwa Dirga memperhatikannya, terlihat dari tindakannya yang mulai menjauh
dari samping Dirga.
“Astagfirullah.
Gue kenapa lagi.” Ucapnya dalam hati sambil mengusap-usap
mukanya. Hingga tak terasa kereta listrik ini pun sudah hampir tiba di stasiun
Tanah Abang. Begitu kereta berhenti, sebagian penumpang ikut turun bersamanya.
Dirga berjalan sambil merapikan pakaiannya yang mulai kusut. Tiba-tiba berhenti
mendadak, tanpa disadari seseoang menabraknya keras dari belakang.
“Sorry-sorry saya gak sengaja.” Ucap orang itu tanpa
melihat ke arah Dirga yang kini sudah terbengong-bengong ria menatap punggung
orang yang baru saja menabraknya.
“Dia lagi.” Katanya pelan sambil tersenyum.
Dilihatnya orang itu yang tak lain adalah wanita berseragam biru di dalam
gerbong kereta tadi berjalan cepat menuruni tangga. Dirga yang penasaran mengikutinya
sampai depan stasiun dan menemukannya sudah pergi menggunakan ojek di depan
stasiun.
“Mas angkot mas. Udah mau jalan angkotnya.” Suara
supir angkot mengagetkannya, membuat otaknya segera memerintahkan badannya
untuk segera menaiki mobil angkot tersebut.
☼♥☼
“Woi! Bengong aja lo Dir!” Adam, teman sekantor
Dirga mengembalikan Dirga dari lamunannya.
“Lo kenapa? Tuh liat layar komputer. Lo ngetik apa
di situ? Masa hitungan minggu kemarin lo masukin juga sih di minggu ini? Rugi
nanti perusahaan.” Dirga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Adam menatapnya
bingung.
“Stress gue Dam kalo tiap pagi harus berebut kereta
sama orang-orang.” Keluhnya.
“Kan gue udah pernah bilang naik bus aja. Jangan
kereta.”
“Naik kereta yang butuh waktu 45 menit nyampe sini
aja gue harus bangun jam 4 subuh, sedangkan bus butuh waktu 1 jam lebih. Harus
bangun jam berapa gue?” Adam tertawa melihat kekusutan di raut muka temannya.
“Sabar, Dir. Namanya juga kerja, susah-susah dulu
lah sebelum sukses. Ya gak?” Adam menepuk pundak Dirga dan kembali ke mejanya
untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Tapi Dam. Ada baiknya juga gue naik kereta. Gue
tadi ketemu cewek, dan gue rasa gue jatuh sama dia.”
“Baru ketemu sekali?”
“Iya baru tadi. Tapi gue bener-bener tersihir sama
dia.” Jelas Dirga sambil mengingat kembali wajah wanita tadi.
“Kerja dulu baru bayangin cewek!” sahut teman Dirga
yang lain yang ternyata merasa terganggu dengan ocehan kedua laki-laki dewasa
ini. Dirga dan Adam hanya cengengesan, segera menyibukan diri masing-masing.
☼♥☼
Pagi ini Dirga dengan bersemangat masuk ke dalam
gerbong kereta listrik yang biasa ia tumpangi. Alasannya hanya satu, bertemu
dengan wanita itu. Wanita dengan balutan seragam biru. Seperti biasa ia berdiri
di antara penumpang-penumpang yang lain. Matanya mencari-cari seseorang, wanita
itu. Akhirnya Dirga menemukannya tengah berdiri di dekat tiang, ia mengenakan
baju kemeja panjang putih dengan celana jeans yang membalut kaki jenjangnya.
Dirga tersenyum ke arahnya, namun wanita itu justru membuang muka. Ada sedikit
rasa kecewa di hati Dirga, namun tak ia risaukan.
Jendela kaca gerbong kereta di basahi oleh
rintik-rintik hujan. Tak lama muncul semburat warna-warni di lapisan awan yang
membentuk sebuah pelangi. Kembali Dirga mengingat akan cerita bidadari turun
menggunakan pelangi sebagai jembatannya. Dirga berhenti mengingat dan langsung
menoleh ke arah wanita itu. Kini senyuman mengembang dari bibir tipis Dirga.
Ternyata memang benar, pelangi itu jembatan untuk bidadari turun dari
khayangan, ucapnya dalam hati tanpa mengalihkan tatapannya dari wanita itu.
Dilihatnya arloji, pukul 7:10.
“Bidadari 7:10.” Ujarnya pelan sambil tersenyum.
Panggilan bidadari 7:10 sudah melekat dalam diri wanita itu bagi Dirga. Setiap
hari Dirga memiliki rutinitas baru di dalam kereta, yaitu memandangi bidadari
7:10 nya setiap saat. Tak peduli bidadari itu suka atau tidak. Kebisingan dan
keramaian di dalam gerbong keretapun tak berarti apa-apa bagi Dirga kalau sudah
memandang bidadari itu.
“Kenapa gak lo ajak kenalan aja?” tanya Adam penasaran
dengan sikap Dirga yang tak mau juga mengajak kenalan wanita itu. Setiap hari
Adam hanya bisa menerima celotehan-celotehan Dirga tentang sang bidadarinya.
“Gak bisa! Gue gak ada keberanian!” jawab Dirga
setengah frustasi.
“Jangan nyesel kalo nanti keduluan orang lain.”
Pesan Adam diakhir kalimatnya sebelum jam kantor selesai. Sepanjang perjalanan
pulang, Dirga terus memikirkan perkataan Adam tadi di kantor. Ia malu untuk
berkenalan dengan bidadari itu. Entah apa yang harus ia lakukan esok pagi di kereta
saat bertemunya. Mungkin Dirga akan tetap memandangnya saja, tanpa suara.
☼♥☼
Di gerbong kereta yang sama Dirga masih memandang
bidadari itu yang kini tengah berbincang-bincang dengan ibu-ibu yang waktu itu
ia persilahkan duduk. Perbincangannya terlihat menarik. Itu terlihat dari
ekspresi muka bidadari yang sangat antusias bercerita di balik senyumannya. Si
ibu pun seperti sedang memberikan sebuah wejangan
kepadanya. Ingin sekali Dirga ikut bergabung dengan mereka, lebih dekat
melihat tawa renyah itu.
Keretapun berhenti di stasiun seperti biasa. Dirga
berjalan di belakang sang bidadari. Di setiap lekuk tubuhnya seperti memiliki
cerita sendiri. Tak di sadari ternyata bidadari itu menoleh ke arah Dirga dan
memperhatikannya. Jantung Dirga mungkin hampir copot saat melihat bidadari itu
tersenyum ke arahnya. Lalu ia kembali menghadap depan dan meneruskan jalannya.
Rambut ikalnya berayun ke sana ke mari seirama langkah kaki indah itu.
Dilihatnya dari kejauhan si bidadari menaiki motor menuju kantornya. Seperti
mendapat kekuatan senyuman tadi, Dirga bertekad esok ia harus berkenalan
dengannya.
Sore hari sembari merapikan data-data, Dirga
mendengarkan saran-saran dari seorang Adam. Adam dengan menggebu-gebu
menyampaikan berbagai macam cara untuk berkenalan dan mendekati target incaran
Dirga.
“Bersikap biasa itu penting. Jadi, gak perlu terlalu
kita tunjukin kalo kita mau kenal dia. Perempuan itu jangan langsung di tarik.
Ibarat layangan, kita harus tarik ulur biar terbang bagus. Begitu juga dengan
mendekati perempuan. Jangan langsung menunjukkan kalo lo menginginkan dia.
Sekali-kali butuh untuk diulur sedikit. Supaya nanti bisa berjalan mulus kayak
layangan.” Jelas Adam panjang lebar. Dirga benar-benar mengingat apa yang
dipesankan oleh Adam. Esok ia harus melakukannya.
☼♥☼
Langkah kaki Dirga begitu berat untuk memasuki
gerbong kereta. Ada rasa ketakutan tersendiri dalam dirinya.
“Ayolah Dirga. Kemarin lo niat. Ayo jalanin.”
Ucapnya pelan menyemangati dirinya. Perlahan ia memasuki kereta. Matanya tak
berani mencari keberadaan sang bidadari. Sudah hampir lima belas menit Dirga
hanya menunduk.
“Dirga ayo.” Ucapnya
dalam hati. Pelan – pelan ia mengangkat kepalanya. Ia menyisir ke sebelah
kanan, tidak ada. Dilanjutkan ke sebelah kiripun juga tidak ada. Ia mengedarkan
pandangannya ke orang-orang yang duduk, namun hasilnya tetap sama, nihil. Dirga
menghembuskan napas panjang.
“Ternyata gak
ada. Ke mana dia?” tanyanya dalam hati.
Esok harinya Dirga menguatkan kembali niatnya, siapa
tahu kali ini bidadari 7:10 sudah ada. Mungkin kemarin dia sakit, batinnya.
Saat tiba di dalam gerbong ternyata hasil sama. Bidadari itu belum muncul.
“Ke mana dia?”
Tidak ada kata menyerah dalam kamus Dirga, esok
harinya ia lakukan hal yang sama. Tapi tetap saja keberadaan bidadari itu tak
ia temukan hingga genap seminggu, bidadari itu kunjung datang. Dirga tak tahu
harus mencarinya di mana. Menunggu hingga kereta jurusan tanah abang habis pun,
ia tak menemukan sang bidadarinya. Sampai pada hari kedelapan, akhirnya Dirga
menyerah juga. Ia memasuki gerbong kereta dengan tak ada niat.
“Mas.” Panggil seseorang. Dirga menoleh, ternyata
ibu-ibu yang waktu itu berbincang dengan bidadarinya.
“Kenapa bu?” tanya Dirga tak bersemangat.
“Dari kemarin saya liat mas seperti mencari
seseorang. Bener gak?” tebak ibu itu.
“Iya bu. Tapi orangnya udah gak tau di mana.” Jawab
Dirga seadanya.
“Kalau ibu boleh tau, siapa yang kamu cari?” Dirga
terdiam sejenak, ia mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan.
“Perempuan bu yang waktu itu ngobrol sama ibu.”
Jawab Dirga tersenyum.
“Oh anak itu. Seminggu yang lalu saya sempat
mengobrol sama dia, dia bilang akan menikah dalam waktu dekat ini.” Kalimat itu
membuat Dirga terdiam terpaku.
“Dia juga bilang akan pindah ke Surabaya mengikuti
suaminya yang bekerja di sana. Makanya beberapa hari ini dia sudah gak muncul
lagi. Mungkin dia sudah menikah dan pindah.” Lanjut ibu itu tanpa mengetahui
perasaan apa yang kini melanda laki-laki yang tengah mendengarkan
penjelasannya.
Kereta menghentikan lajunya saat tiba di stasiun
akhir. Dirga masih terdiam tanpa ekspresi yang jelas. Si ibu berpamitan
kepadanya pun tak ia hiraukan. Dengan langkah terseok-seok, Dirga keluar dari
gerbong. Ia meraih sebuah tempat duduk, dan tertunduk lemas. Ia menyesali
keterlambatan dan ketidakberaniannya untuk berkenalan dengan sang bidadari. Kejadian
ini membuat dirinya menjadi semakin dewasa. Seandainya kita ingin memiliki
seseorang, ibaratkan lah seperti kita menggenggam sekuntum bunga mawar. Kadang
kala kita merasakan harumnya tapi kadang kala kita merasakan duri yang menusuk
tangan kita. Jangan pernah memendam perasaan kita terhadap seseorang hingga
akhirnya orang tersebut pergi dan kita hanya bisa menyimpannya rapat-rapat di
dalam hati. Entah apa yang ada dalam pikiran Dirga sekarang. Ia hanya berharap
suatu hari nanti Tuhan akan menggantikan bidadari 7:10 nya dengan bidadari
7:11, bidadari 7:12 dan seterusnya.
AYO KOMENTARNYA BISA DI POST DI SINI YANG PUNYA MAUPUN BELUM PUNYA BLOG ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar