Ketenangan.
Satu hal itu yang kini menjadi tema seorang gadis
bermata bulat berwarna kecoklatan. Sejauh mata memandang terlihat jelas pantai
yang luas, indah, berair jernih dan tenang. Langit nan cerah berwarna biru-putih-kehijauan.
Nina bisa merasakan kehangatan saat kedua telapak kakinya menginjak pasir putih
di pantai nan indah ini. Desiran angin terus berhembus sejuk di wajahnya yang
bercahaya redup, seketika ia sadar bahwa angin telah menghapus sisa-sisa butiran
air mata yang telah jatuh di wajahnya.
Tuhan mempunyai banyak jalan untuk makhluk-Nya untuk
mencapai kebahagian. Entah itu cara yang dibilang menyenangkan, ataukah cara
yang yang sama sekali tidak kita inginkan, dan sering kali kita mengeluh, “Tuhan, sampai kapan cobaan ini akan berakhir?Aku
lelah, aku tidak ingin seperti ini.” Batin Nina terus-terusan meronta
seperti itu.
Seperti saat ini, di bumi Wonosari, Yogyakarta. Nina
mengikuti permintaan Ambar, ibunya, yang menginginkannya untuk tinggal di kota
pelajar ini selama kepergian sang ibu untuk mencari nafkah di negeri orang.
Sejujurnya, Nina hanya ingin tetap bersama ibu dan adiknya di Jakarta. Semenjak
kepergian ayah, jiwa Ambar tergoncang hebat. Begitupun Nina.
“Nina!!” teriak seorang wanita paruh baya
memanggilnya dari kejauhan sana. Beliau adalah orang yang akan merawat Nina di
sini. Gadis yang memakai jaket coklat ini mulai memanggilnya dengan sebutan
nenek. Wanita itu berjalan menghampiri Nina yang masih bergeming, berdiri di
atas pasir pantai Sadranan.
“Kamu sedang apa Nina?” tanyanya halus.
“Lagi menikmati indahnya ciptaan Tuhan, nek.”
Jawabnya tanpa menoleh ke arah Astuti, namun ia tahu bahwa Astuti menyiratkan
sebuah senyuman.
“Bagaimana dengan jarum di telingamu? Masih terasa
sakit?”
Tangan Nina bergerak memegang belakang telinga
kirinya yang terpasang sebuah jarum kecil di sana. Nina merintih kesakitan
sambil sesekali mengelus-elus telinganya.
“Pelan-pelan kalau mau menyentuhnya.” Ujar nenek.
“Hehe iya nek, Nina lupa. Tapi sudah tidak terlalu
sakit kok nek. Sudah mulai terbiasa dipasang kayak ginian hehe.”
“Baguslah kalau sudah tidak terlalu sakit lagi. Kamu
masih mau di sini? Jangan terlalu lama, kamu harus istirahat.” Ujar Astuti namun
Nina tak menggubris. Nina masih memegang jarum di telinga belakangnya. Jarum
ini merupakan jarum akupuntur yang dipasangkan oleh Wahyu, kakek-suami nenek-. Nina
mengidap penyakit jantung, persis seperti mendiang ayahnya. Waktu pertama kali
Wahyu mengetahui bahwa almarhum ayah Nina “mewariskan” penyakit jantungnya
kepada Nina, Wahyu sangat terkejut. Wahyu merupakan dokter pribadi keluarga
Nina yang menangani almarhum ayahnya. Namun penyakit yang diderita oleh ayahnya
ini telat diketahuinya. Oleh karena itu, Wahyu tidak ingin kejadian ini terulang
pada diri Nina.
“Nina....” Suara nenek membuyarkan lamunan Gadis
berambut sebahu ini.
“Eh iya
nek. Iya nanti Nina menyusul nenek sebentar lagi. Nenek duluan saja.” Jawabnya
“Ya sudah. Ingat ya, jangan lupa loh untuk pulang ke rumah. Mau nanti
diculik?” tanya Astuti bergurau.
“Kalau diculik sama cowok ganteng mah siapa yang gak mau nek.” Jawab Nina
tertawa. Astuti tersenyum melihat sosok gadis yang periang ini sambil berjalan
meninggalkannya yang kembali terfokus memejamkan mata, kembali menikmati
semilir angin di pantai Sadranan.
“Tuhan, aku
percaya dengan segala cobaan yang Engkau berikan kepadaku, Ibu dan adikku ini
merupakan salah satu jalanMu untuk menuntunku menuju kebahagiaan yang abadi.
Aku percaya Engkau telah membuat suata rencana di depan sana. Aku akan berusaha
menjalani apa yang telah Engkau gariskan untukku. Bimbinglah aku Tuhan.”
Nina membuka perlahan kelopak matanya pelan.
Berusaha tersenyum dan menghapus butiran air mata yang kembali terjatuh di
wajahnya. Ia langkahkan kakinya meninggalkan pantai, menuju tempat tinggalnya
yang baru. Esok Ambar akan pergi. Nina ingin berada dalam pelukkannya sebelum
wanita cantik itu berjuang untuk membuktikan kepada dua belahan hatinya bahwa
ia adalah wanita kuat dan Ibu yang hebat.
☼☼☼
“Nina, kenapa kamu tidak tidur?” tanya Ambar yang
masih memeluk erat tubuh putri cantiknya yang bersandar manja di bahunya. Nina
melirik jam di dinding, sudah menunjukkan pukul dua pagi.
“Nanti saja bu, Nina mau dipeluk ibu sebelum ibu
berangkat ke Aussie.”
“Iya ibu tahu. Tapi nanti pagi kamu juga sudah mulai
ke kampus kan?” tanya Ambar.
“Oh iya ya.” Nina teringat bahwa nanti pagi adalah
hari pertamanya untuk belajar di bangku kuliah setelah setahun ia menunda untuk
melanjutkan pendidikan.
“Ayo kalau begitu kamu harus tidur. Lihat Dean, dia sudah
tertidur dari tadi.” Dean, adik Nina. Ia terlihat manis kalau sedang terlelap.
Seperti malaikat kecil yang baru saja turun dari surga. Namun kalau sudah
bangun, label malaikat sepertinya tidak pantas untuk diibaratkan kepadanya lagi,
pikir Nina.
“Nina, kamu jangan melihat adek seperti itu. Biasa saja
dong mukanya.” Ambar paham dengan
raut wajah Nina saat memandang Dean.
“Kenapa adek nyebelin
sih bu?” tanya Nina.
“Kamu tidak boleh seperti itu. Kalau ibu sudah di
Aussie nanti, hanya kamu yang bisa memahami adek, kamu adalah satu-satunya yang
adek butuhkan.” Jelas Ambar. Nina membenarkan posisi duduknya hingga sekarang
berhadapan dengan wanita tegar ini.
“Tapi bu, tadi pagi Nina lihat nenek susah payah
menasihati adek.”
“Itu sama nenek kan? Coba Nina yang menasihati dan
ajari adek. Belum tahu kan bagaimana reaksinya nanti?” Nina hanya menggelengkan
pelan kepalanya.
“Tolong bantu adikmu. Dean membutuh perhatian khusus
dari kita semua Nina.” Pinta Ambar. Raut wajahnya sangat terlihat memohon
kepada Nina.
“Iya ibu. Nina akan berusaha untuk ajari adek.”
Jawab Nina sambil memeluk erat tubuh Ambar yang sangat terlihat rapuh.
“Nina harus jaga kesehatan ya selama ibu pergi. Nina
harus buktiin sama ibu kalau Nina
bisa sembuh dan berhasil untuk membimbing adek” Suara Ambar terdengar bergetar
di kuping putrinya. Nina tak kuasa membendung air matanya.
“Iya ibu. Nina janji sama ibu.”
“Nina....” panggil Ambar sambil melepas pelukkannya.
“Ada hal yang harus kamu tahu.” Nina mengerutkan
kening, tak paham dengan perkataan sang ibu barusan.
“Ibu akan kembali lagi ke sini saat kamu wisuda.”
Seperti ada jutaan tombak yang menghujam jantung Nina.
“Ibu bohong kan? Bu, sampai Nina wisuda? Itu berapa
lama? Apa Nina bisa selama itu harus ditinggal oleh ibu? Tidak bu! Nina tidak
bisa.” Ucapnya bergetar. Wajah kuning langsat itu mulai memanas menahan rasa
sakit di dada.
“Nina....kamu pasti bisa. Kita semua pasti bisa. Ibu
pergi selama 4 tahun nanti bukan untuk berfoya-foya atau sejenisnya. Tapi ibu
mencari nafkah untuk menghidupi kamu, Dean, kita. Ibu sekarang orang tua
tunggal, biarkan ibu pergi untuk mencari uang. Ibu janji akan kembali dan
melihat Nina wisuda. Ibu akan kembali saat Nina berhasil.” Jelas Ambar panjang
lebar.
“Jadi, kalau Nina tidak berhasil, ibu tidak akan
kembali?” tanya Nina. Ambar terdiam cukup lama, lalu tersenyum.
“Ibu yakin Nina akan berhasil. Doa ibu selalu
menyertaimu Nina.” Ambar kembali memeluk erat tubuh Nina yang berguncang hebat.
“Bu....” Dean terjaga dari tidurnya.
“Kok nangis?” tanyanya polos.
“Sini sayang...” panggil Ambar. Anak laki-laki
berusia 10 tahun ini langsung berhambur di tengah-tengah kedua wanita cantik
tersebut.
“Duh!! Dean! Pelan-pelan dong kalo mau duduk. Sakit tau tangan kakak!” bentak Nina agak
keras.
“Sukurin!”
jawab Dean sambil cengengesan.
“Tuh kan bu! Liat! Gimana Nina bisa ngajarin Dean coba?”
“Pasti bisa Nina. Dean, gak boleh gitu ya sama kak
Nina. Harus nurut.”
“Hmmm.” Gumam Dean. Nina memutar bola mata, sebuah
kebiasaannya. Ambar hanya tersenyum melihat kelakuan kedua buah hatinya. Nina
tahu bahwa Ambar menaruh harapan besar kepada dirinya. Semoga saja apa yang
ibu harapkan bisa terwujud, batinnya.
“Tuhan, bolehkah
aku meminta sedikit saja tambahan kesabaran di dalam diriku ini? Kesabaran yang
nantinya akan aku gunakan dalam menjalani hidup baru setelah keberangkatan ibu.
“ Sepintas
doa Nina panjatkan sembari memandangi kedua wajah yang sangat ia sayangi
☼☼☼
Nina melepas keberangkatan Ambar dengan rasa yang
tak ia pahami. Ibunya akan bekerja di Aussie, ia sendiri tidak tahu Ambar akan
bekerja apa. Hanya yang ia tahu, dulu Ambar seorang pramugari di salah satu penerbangan.
Mengingat usia Ambar yang tak lagi muda, Nina tak yakin ibunya akan menjadi
pramugari lagi di negara kanguru itu. Namun perkataan Ambar tadi pagi
membuatnya percaya bahwa Ambar akan mendapatkan pekerjaan di sana.
“Nina, di
Australia wanita seusia ibu masih bisa untuk mendapatkan pekerjaan. Doakan ibu
ya.”
Begitu katanya. Nina akan selalu berdoa yang terbaik
untuk Ambar.
Suara pensil diketuk-ketukan di atas meja mengganggu
pikiran Nina tentang Ambar. Nina melihat dihadapanny ada seorang anak laki-laki
tengah memukul-mukul meja dengan pensil yang seharusnya ia gunakan sebagai alat
tulis.
“Adek! Itu pensil bukan stik drum.” Ujar Nina.
Omonganya tak digubris oleh Dean. Malah ia semakin mengencangkan ketukannya.
Nina yang kesal melihat tingkahnya langsung menarik paksa pensil yang ia
pegang. Dean memandang Nina dengan tatapan kosong, lalu tak lama ia membuka
kotak pensilnya dan mengambil pensil lain.
“Deaaaaaan!!!!” gerut Nina kesal melihatnya kembali
melakukan hal yang sama.
“Hahahahaha...” terdengar suara renyah tawa dari
tempat lain, aku mencari sumber suara tersebut namun aku tak menemukan apapun.
“Kak.... takuuuut...” ucap Dimas tiba-tiba. Dimas
memang penakut, kadang aku suka menakut-nakutinya kalau ia sedang berulah. Namun
sekarang ini akupun juga ngeri dengan
suara tadi.
“Makanya jangan bandel! Ya udah masuk aja yuk.” Aku
melangkahkan kakiku menuju kamar, diikuti oleh langkah cepat Dimas di belakang.
“Kak tadi suara apa? Dimas takut.” Katanya sambil
duduk sangat dekat denganku. Aku mengulaskan sebuah senyuman.
“Kakak juga gak tau dek tadi itu siapa yang ketawa.”
Jawabku setelah Dimas terus-terusan menanyakan kejadian aneh tadi.
“Mau pulang kak. Pulang aja yuk kak.” Rengek Dimas
yang sepertinya masih ketakutan.
“Pulang? Ke mana? Jakarta? Aneh-aneh aja sih kamu
dek. Udah gak apa-apa. Mungkin tadi suara kakek atau suara siapalah. Jangan
dipikirin terus.” Jelasku. Aku melihat wajah Dimas yang masih takut, matanya
mulai berkaca-kaca. Aku pun menarik tubuh mungil Dimas ke dalam pelukkanku.
“Udah.. jangan nangis. Ada kakak di sini.” Dimas
memberikan anggukan pelan di sela tangisnya yang sudah mulai pecah. Aku bisa
merasakan bahwa Dimas memang membutuhkanku, seperti kata ibu.
“Nina...” panggil Nenek akhirnya yang sedari tadi
hanya berdiri di depan pintu menyaksikan tingkah kedua “cucu” nya ini.
“Iya nek...” jawabku sambil mengusap air mata Dimas.
“Nanti siang temani nenek ke pasar ya. Nenek mau
masak banyak hari ini. Dimas di rumah saja, temani kakek. Mau kan?” tanya nenek
sekaligus. Aku dan Dimas langsung menganggukkan kepala tanda setuju.
☼☼☼
“Nina, nanti malam anak-anak nenek datang loh ke
rumah.” Kata nenek sembari memilih sayur-sayur yang masih segar.
“Oh ya? Asik dong nek.” Sahutku.
“Makanya sekarang nenek ajak kamu belanja. Soalnya
kita akan masak besar.”
“Hmm gitu. Ngomong-ngomong anak nenek ada berapa?”
“Hanya ada empat, Nina. Laki-laki semua.”
“Wah, Nina panggil om semuanya dong?” tanya ku.
“Huss! Jangan. Mereka belum jadi om-om kok. Masih
beberapa tahun di atas usiamu. Panggil saja dengan sebutan “mas”.
“Oh gitu ya Nek. Oke deh hehe.” Aku teringat tentang
cerita ibu yang pernah memberitahuku bahwa sebenarnya anak nenek hanya dua
orang laki-laki, sudah berkeluarga semua dan tidak tinggal bersama nenek. Oleh
karena itu entah dari mana asal usulnya, nenek dan kakek mengangkat empat orang
anak laki-laki lain, namun aku enggan untuk mencari tahu lebih jauh.
“Yuk kita jalan lagi..” ajak nenek setelah
memberikan uang kepada penjual sayur.
“Nek, Nina gak apa-apa kalau tinggal di rumah
nenek?” tanyaku. Nenek menghentikan langkahnya di sampingku.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tatapan nenek
terlihat seperti tidak suka dengan pertanyaanku. Pasti nenek marah.
“Maaf nek.” Kataku. Di luar dugaanku ternyata nenek
tidak marah. Beliau malah membelai halus rambutku yang kubiarkan terikat
“acak-acakan” kemudian tersenyum sambil melanjutkan langkahnya. Aku bergegas
mengikutinya.
“Nek... terimakasih ya sudah mau menerima kehadiran
Nina dan Dimas.”
“Nina, kamu tahu waktu dulu ayahmu sakit? Nenek dan
kakek sangat menyesal mengetahuinya. Oleh karena itu, nenek dan kakek tidak
ingin hal itu terulang kembali.” Jelas nenek dengan lembut namun tegas.
“Iya nek.” Jawabku pelan.
“Ya sudah, yuk kita pulang. Sudah banyak belanjaan
kita.” Ajak nenek sambil memberhentikan sebuah becak.
☼☼☼
“Ya kalo Adi sendiri gak keberatan pak. Lagi pula
mereka memang perlu ketenangan, dan mungkin saja bisa mereka temukan di sini.” Suara
seorang laki-laki yang ku ketahui bernama Adi terdengar hangat di telingaku.
Sejak beberapa menit yang lalu, aku berdiri mematung sembari mendengar pembicaraan
kakek bersama anak-anaknya. Tentu yang mereka bicarakan adalah tentang aku dan
Dimas.
“Nah kan pak, kita semua nerimo toh pak. Lagian seharusnya bapak gak perlu bertanya seperti
ke kita.” Sahut laki-laki lain di sebelah Mas Adi.
“Iya pak. Galih juga setuju sama pendapat Mas Adi
dan Mas Rio.” Entah kenapa hatiku merasa tenang mendengar mereka semua bisa
menerima kehadiranku dan Dimas di sini.
“Kalian harus menjaga mereka, harus melindungi
mereka. Ingat, anggap mereka sebagai adik kalian.”
“Iya pak. Kami semua berjanji.” Jawab Mas Adi
mewakili mereka yang ada di situ.
“Aduh!” teriakku spontan saat menyenggol vas bunga
yang terletak di sampingku.
“O..oww”
sahutku dalam hati. Benar saja, mereka semua langsung mengalihkan pandangannya
ke arahku. Aku hanya bisa nyengir tanpa
dosa.
“Nina?” tanya laki-laki berbadan tegap yang
mengenakan kaus biru, dia lah mas Adi.
“Kamu sedang apa toh
Nina di situ?” tanya kakek.
“Mau ikutan ngobrol? Sini jangan ngumpet aja di
situ.” Seseorang bernama mas Galih bersuara.
“Hehe iya kek, mas....” segera aku menghampiri
mereka malu-malu karena sudah tertangkap basah menguping pembicaraan mereka.
“Saya Adi...” lagi-lagi lelaki ini selalu memulai
pembicaraan denganku.
“Lalu ini Galih, yang pake kacamata dan ini Rio si
jangkung.” Lanjutnya.
“Nina mas...” sahutku sambil berusaha tersenyum
semanis mungkin agar mereka tak mengecapku sebagai tukang nguping.
“Nah kalian ngobrol saja ya, kakek mau shalat ashar
dulu. Kalian sudah shalat?” tanya kakek. Ya, kakek sangat menjunjung tinggi
nilai agama. Beliau tak segan-segan untuk selalu bertanya apakah kita sudah
menjalankan perintah-Nya atau belum.
“Sudah kek...” jawabku dan ketiga “saudara” baruku
ini.
“Bagus.” Sahut kakek tersenyum sambil melangkahkan
kakinya meninggalkan kami berempat.
Hening.....
Hanya terdengar detik bandulan jam besar nan tua di
pojok sana.
“Walah kenapa
pada diem?” Tanya mas Adi membuka pembicaraan (lagi)
“Kamu tinggal di sini berapa lama Nin?” tanya Mas
Galih. Aku mendadak diam menerima pertanyaan seperti itu. Apakah mas Galih
mengingkan aku untu cepat pergi?
“Huss! Kamu Galih ndak boleh nanyanya seperti itu.”
seru Mas Rio sambil menyikut bahu Mas Galih yang duduk di sebelahnya.
“Eh maaf..maaf..” Mas Galih sepertinya tidak enak
denganku.
“Maksudnya gini loh Nina, kamu boleh tinggal di
sini, selama dan sesuka kamu. Kami semua senang ada penghuni baru di rumah ini.
Apalagi perempuan, soalnya saya bosan melihat mereka di sini.” Jelas Mas Adi
sambil menunjuk ke arah dua saudara laki-lakinya bercanda.
“Woooo semprul!”
sahut Mas Rio yang terlihat lebih manis walaupun tubuhnya agak kurus
dibanding yang lain.
“Hehe iya mas... makasih udah nerima kami di sini.
Mudah-mudahan Nina gak ngerepotin ya mas hehe.” Jawabku mulai beradaptasi
dengan saudara baruku ini.
“Wah gak bakal repot kok. Justru nanti kamu yang
bakal repot di sini. Bantu-bantu nenek masak, nyuci, nyetrika, nyap....” belum
selesai mas Galih berbicara, seorang laki-laki membekap mulutnya menggunakan
satu tangannya.
“Cerewet.” Ujar laki-laki yang baru saja datang
entah muncul dari arah mata angin sebelah mana. Kemudian ia lalu pergi (lagi).
Aku melihat mas Adi dan mas Rio terkekeh melihat mas Galih yang kini mukanya
cemberut.
“Makanya kamu tuh jadi laki-laki jangan terlalu
cerewet. Nanti kamu di bekep lagi
sama mas Dirga “ ujar mas Rio.
“Oh namanya
mas Dirga”
“Nina kenapa melamun?” suara berat mas Adi
mengagetkanku.
“Eh iya mas. Iya tadi kaget aja ada yang dateng
tiba-tiba terus nutup mulutnya mas Galih, kan kasian.” Jawabku.
“Sudah biarin aja Nin, Dirga emang suka seperti itu.
Orangnya agak pendiam. Ya gak apa-apa lah untuk menyumpel makhluk cerewet kayak Galih ini.” jelas mas Adi sambil
menimpukkan sehelai tissue yang sedari tadi ia gulung kecil ke arah mas Galih
yang masih terlihat cemberut.
“Eh eh eh! jangan dengan tempatnya kalau mau lempar”
cegah mas Rio saat melihat mas Galih tengah siap melemparkan satu tumpuk tissue
lengkap dengan tempatnya. Kemudian mereka semua tertawa.
“Sepertinya aku
akan betah di sini.” Ujarku dalam hati sambil tersenyum.
“Kak Nina!” panggil seseorang. Seperti suara Dimas.
“Kak Ninaaaaaaa!” panggilnya kesal. Ternyata memang
Dimas.
“Kenapa dek?” tanyaku santai.
“Kakak lupa tadi mau ngapain?” tanyanya.
“Ha? Mau ngapain apa?” tanyaku bingung. Aku
memandangi tiga orang laki-laki di depanku yang juga terlihat bingung.
“Ih kakak! Kakak tuh di suruh nenek buat....” belum
sempat Dimas menyelesaikan kalimatnya, aku dengan segera berlari ke luar rumah.
“.....ambil daun jeruk di halaman depan.” Lanjut
Dimas sambil menghela napas yang sangat panjang. Aku bisa mendengar dari
halaman bahwa mereka berempat sedang tertawa, lebih tepatnya menertawai
“kepikunan” ku.
“Kok bisa sampe lupa gini sih Ninaaaaaa...” seruku.
“Yang mana daun jeruk? Aduuuuuuh..” sambungku
berbicara sendiri sambil melempar pandangan ke sana ke mari mencari yang
namanya daun jeruk.
“Ini.” terdengar suara seseorang di sampingku. Aku
tak menggubris.
“Ini.” terdengar lagi. Aku masih sibuk mencari daun
jeruk. Tiba-tiba tanganku terasa seperti tertarik. Ya, tanganku memang ditarik
oleh seorang laki-laki. Ia menyerahkan kantung plastik putih.
“Ini daun jeruknya. Dari tadi nenek nungguin kamu
tapi kamu malah ngobrol.” Ujarnya dingin, sedingin tangannya yang tadi
menarikku. Kemudian ia berlalu tanpa memperdulikanku yang baru saja ingin
mengucapkan...
“Terimakasih...” suaraku hampir tak terdengar oleh
telingaku sendiri. Aku menghela napas panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar